Kamis, 10 Maret 2016

# Library # Renungan

Sukses = 10.000 Jam Terbang + Semesta Mendukung


[source]
Beberapa hari lalu, saya baru saja menyelesaikan salah satu buku Malcolm Gladwell yang tidak kalah keren dari Tipping Point dan Blink. Yup, Outliers. Mungkin sudah banyak yang tahu dengan buku ini, karena sudah beredar di Indonesia sejak tahun 2009. Berbeda dengan Tipping Point yang mengulas tentang fenomena getok tular atau Blink yang membahas tentang intuisi dan rapid conclusion, Outliers mengulas tentang fenomena kesuksesan sejumlah orang terkenal.
Seperti kebanyakan buku-buku Malcolm Gladwell lainnya, Outliers mampu menjabarkan fakta tentang kesuksesan yang sangat insightful bagi pembacanya. Saya sampai tercengang-cengang dengan kelihaian penulis dalam memaparkan analisisnya berdasarkan sejumlah data dan fakta penelitian. Semua peristiwa yang dipaparkan saling berkesinambungan satu sama lain sehingga mencipta sebuah hubungan sebab akibat yang runtut.
Dalam statistik, mungkin sudah banyak yang familiar dengan istilah outlier. Ya, outlier dalam statistik berarti sebuah nilai yang berbeda dibanding dengan contoh lainnya. Bisa diartikan bahwa outliers adalah sekelompok entitas yang unik dan berbeda.
Kisah dalam Outliers ini dibuka dengan kisah aneh di sebuah tempat bernama Roseto. Awalnya, Roseto adalah nama sebuah desa di Italia, namun pada abad ke-19, penduduk Roseto mulai melakukan migrasi ke Amerika Serikat. Mereka menempati Pennsylvania dan mendirikan sebuah kota bernama Roseto pula. Nah, pada tahun 1950-an, seorang dokter bernama Stewart Wolf lah yang pertama kali menemukan keunikan pada penduduk Roseto. Pasalnya, ketika dokter Wolf mengisi sebuah seminar di Roseto, seorang dokter di sana bercerita bahwa selama tujuh belas tahun lamanya, dia tidak pernah menangani pasien jantung di Roseto. Padahal pada tahun 1950-an, penyakit jantung merupakan penyakit yang sulit dicegah dan disembuhkan karena obat penurun kolesterol dan semacamnya tersebut belum ditemukan. Menurut dokter Wolf, pada zaman itu sungguh aneh apabila tidak ada dokter yang belum pernah menangani pasien jantung. Jadi, angka kematian di Roseto bukan disebabkan oleh penyakit jantung, penyalahgunaan alkohol, penyakit lambung, kemiskinan, atau penyakit kronis lainnya, akan tetapi hanya perkara mereka sudah uzur saja, memang sudah waktunya.
Nah, akibat dari fenomena tersebut, dokter Wolf pun tertarik untuk melakukan penelitian pada penduduk Roseto. Pertanyaan yang terus bergaung dalam benak dokter Wolf adalah apa yang menyebabkan penduduk Roseto sedemikian sehatnya di tengah semakin banyak bermunculan penyakit-penyakit baru. Akhirnya, terjawab sudah segala tanya dan keanehan yang membuat penasaran itu. Rahasia sehat dari penduduk Roseto adalah bukan karena pola makan penduduk Roseto yang justru lebih banyak mengandung kalori ataupun perilaku olahraga mereka. Jawaban mencengangkan itu ternyata bukanlah hal yang bersifat fisik. Rahasia di balik Roseto terkuak ketika dokter Wolf dan partnernya, Bruhn, berjalan-jalan di Roseto dan menemukan perilaku penduduk Roseto yang saling berkunjung satu sama lain, berhenti untuk saling menyapa dan mengobrol dalam bahasa Italia, atau memasak makanan untuk tetangganya di halaman belakang.
Well, that’s a kind of silaturahim, right?
Sampai di sini saya pun tercengang-cengang dengan fakta penelitian tersebut. Pikiran saya pun berkelana mengingat salah satu materi kuliah Psikologi Sosial yang pernah disampaikan oleh dosen saya semester lampau. Yup, tentang perilaku silaturahim dan hubungannya dengan kesehatan fisik. Bedanya, kisah yang diceritakan dosen saya terjadi di sebuah desa di Jepang, di mana penduduknya juga memiliki usia harapan hidup yang lebih tinggi akibat dari budaya srawung dengan tetangga sangat terjaga. 
[source]
That’s why, Rasulullah pun pernah bersabda bahwa barangsiapa yang menjaga silaturahim maka akan dipanjangkan umurnya dan dilapangkan rezekinya. See? Ternyata kalimat dipanjangkan umur itu memang benar-benar bermakna ‘panjang umur’ secara harfiah. Begitu pula dengan dilapangkan rezekinya, tentu sudah banyak yang familiar dengan istilah ‘memperluas jejaring pertemanan’, bukan? Nah, menyambung silaturahim merupakan salah satu sarana memperluas jejaring pertemanan. Lantas, efeknya adalah pintu-pintu rezeki juga akan terbuka lebar. Rezeki tidak melulu masalah pekerjaan, mendapat jodoh juga termasuk mendapat rezeki, kan? Halah…
Sudahlah, lebih baik skip ke bahasan selanjutnya saja, deh. Hehehe.
Nah, sebenarnya bahasan utama Outliers bukan masalah Roseto dan silaturahimnya saja. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa Outliers berbicara tentang kesuksesan yang hanya didapatkan oleh beberapa gelintir berbanding jutaan orang di Amerika Serikat. Salah satu yang mengherankan adalah teori yang diejawantahkan Malcolm Gladwell dalam memandang sebuah kesuksesan itu sendiri. Gladwell memandang bahwa kesuksesan sejatinya bukan hanya semata-mata karena kerja keras seseorang itu saja, seperti yang sering digaungkan dalam buku-buku motivasi atau autobiografi orang-orang sukses. Faktor ‘semesta mendukung’ juga memiliki andil yang besar dalam membentuk sebuah kesuksesan pada sejumlah orang tersebut. 
Salah satu yang mencengangkan adalah teorinya tentang kesuksesan dipengaruhi oleh bulan dan tahun kelahiran. Ini bukanlah perkara hitung-hitungan semacam primbon, numerologi, atau hal metafisik lainnya. Akan tetapi, teorinya tersebut dikaitkan dengan kondisi historis dan peristiwa besar apa saja yang terjadi ketika orang tersebut dilahirkan hingga akhirnya mereka menginjak usia 20 tahunan.
Seperti dalam teori fase perkembangan manusia, usia 20-an merupakan masa dewasa awal. Seseorang yang berada di masa dewasa awal biasanya sedang gencar-gencarnya mengeksplorasi minat dan lingkungan sekitarnya. Masa pencarian karier dan keinginan untuk berkembang pesat terjadi pula pada masa ini. Nah, menurut Gladwell, jika ketika seseorang menginjak usia 20 tahun, lalu pada saat itu ia sedang memiliki minat mendalam terhadap sesuatu yang berprospek tinggi, kemudian ia semakin memperdalam minat tersebut, maka kesuksesan pun perlahan menuju genggamannya.
Oke, mungkin tampak terlalu rumit sekali jika dijelaskan tanpa menggunakan contoh. Jujur saja, saya membaca penjelasan di atas juga pusing sendiri. Hahaha.
Contohnya, seperti yang dijabarkan Malcolm Gladwell pada kisah kesuksesan Bill Gates, sang bos Microsoft; Paul Allen, co-founder Microsoft; Bill Joy, dewa perangkat lunak; dan juga Steve Jobs, bos Apple Inc. Jika ditelisik secara mendalam, para pembesar dunia software tersebut dilahirkan pada rentang tahun 1953 hingga 1956.
Lantas, ada apa dengan tahun tersebut?
Dalam sejarah perkomputeran dunia, tahun 1975 adalah tahun kebangkitan awal dunia komputer pribadi. Dulunya, komputer masih terlampau besar, mulai tahun 1975 komputer sudah mulai sedikit diperkecil ukurannya. Nah, jika para pembesar dunia software tersebut dilahirkan pada rentang tahun 1953-1956, tentu ketika tahun 1975 mereka sudah menginjak awal 20-an, bukan?
Nah, seperti yang sudah dituliskan di atas, bahwa usia 20-an merupakan masa emas seseorang dalam mencari bekal pengetahuan sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan minat dan keahliannya. Sangat tepat sekali momennya bagi mereka, apalagi minat mendalam mereka terhadap teknologi perangkat lunak. Tahun tersebut mereka manfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan semakin memperdalam minatnya dalam dunia komputer. Hingga tahun-tahun mendatang, akhirnya mereka sudah mencapai target minimum untuk menjadi seorang ahli. Ya, 10.000 jam latihan!
Maka, rumus sukses tidak hanya karena dipengaruhi oleh faktor ‘semesta mendukung’ saja, namun juga perlu ditambah dengan faktor ‘10.000 jam latihan’.
Anyway, kisah 10.000 jam latihan menuju kesuksesan ini bukanlah sebuah mitos belaka. Nyatanya, semua ahli di dunia dari berbagai latar belakang, mulai dari musisi, aktor, penulis, ahli software, ahli matematika, atlit bulutangkis, pemain catur, penjahat kelas kakap, dan ahli-ahli lainnya, tentu telah mengarungi apa yang dinamakan ’sepuluh ribu jam terbang’.
Ada kisah dalam buku tersebut yang berkaitan dengan fenomena sepuluh ribu jam terbang, yaitu kisah perjalanan karir salah satu band paling legendaris di dunia, The Beatles. Seperti yang kita tahu, The Beatles adalah grup band yang sohor di zaman ketika belum ditemukannya Youtube, Twitter, ataupun Instagram. Untuk mendulang kesuksesan sebagai musisi pada masa itu, tentu tidak seinstan masa sekarang. The Beatles tentu tidak meng-upload video performa mereka di Youtube, ataupun merekam suara mereka di Soundcloud, lantas menunggu viewers, likes, dan subscribers mereka merangkak naik hingga menjadikan mereka tenar. Tidak. Justru, perjuangan The Beatles bermula dari satu klub ke klub lain, hingga akhirnya mereka terdampar di sebuah klub di Hamburg, Jerman. Sejak saat itu, mereka bekerja selama delapan jam setiap hari. Kerja dan latihan delapan jam sehari selama tujuh hari dalam seminggu dari tahun 1960 hingga 1962.
Lantas, lihatlah The Beatles sekarang. Siapa yang tidak kenal mereka, karyanya, dan prestasi mereka? Itulah salah satu efek dari 10.000 jam latihan, menjadikan mereka tidak semata musisi musiman Youtube atau Instagram. Karya mereka senantiasa bergema meskipun keberadaan mereka sudah berkalang tanah.
Nah, sesuai dengan kaidah 10.000 jam terbang, untuk menjadi sukses memang perlu usaha yang lebih keras, lebih banyak, dan lebih mendalam dibandingkan dengan kebanyakan orang lainnya. Untuk yang bagian ini, seperti yang sering digaungkan dalam buku-buku motivasi kesuksesan, sangat berbanding lurus.
Ya, sebenarnya banyak sekali printilan-printilan fakta mencengangkan mengenai kesuksesan yang dijabarkan Malcolm Gladwell dalam Outliers ini. Selain faktor ‘semesta mendukung’ dan ’10.000 jam terbang’, ternyata ada faktor lain yang turut menentukan kesuksesan seseorang, terutama dalam hal keuletan dan ketangguhannya. Apa itu? Faktor tersebut adalah faktor latar belakang budaya dan latar belakang historis keluarga. Jika saya jabarkan satu-satu dengan panjang lebar, tentu akan semakin membosankan jadinya postingan ini.
Maka, bagi yang penasaran, lebih baik baca Outliers dari awal sampai akhir. Saya berani bertaruh, kalian akan jatuh cinta berat dengan buku ini karena penyajiannya yang sangat membuka wawasan dan tidak membosankan. Ya, tentu saja tidak seperti buku diktat kuliah yang banyak bertebaran kutipan menjengkelkan seperti ini;
Menurut Spears (2009) bahwa blahblahblah dalam blahblahblah merupakan blahblahblah (dalam William, 2012).
Kemudian ingat skripsi. Ah, sudahlah...
Tentu saja, dibanding membaca buku diktat kuliah, apalagi jurnal ilmiah bahan skripsi, lebih betah membaca seribu lembar buku nonfiksi semacam Outliers ini, kan?
Halah, tenane, Rif? :p
Yup, buku ini sangat inspiratif sekali. Terutama di bab ‘Kaidah 10.000 Jam’ itu, sungguh menampar saya sekeras-kerasnya.
Saya tertampar, Mas! Saya tertampar! *mulai drama, lalu gaje*
Ternyata, memang saya perlu usaha lebih keras, lebih giat, lebih ulet, dan lebih pantang menyerah lagi untuk menggapai apa yang saya inginkan di masa depan kelak. Mumpung masih 21 tahun juga, pikiran masih cemerlang, mana jomblo pula, kapan lagi mengeksplorasi diri sebesar-besarnya hingga akhirnya menemukan kebermaknaan hidup dalam sebuah kepuasan menjadi ‘berarti’ sebagai makhluk eksistensial hablablablah…. *lalu otak mulai korslet*
Hmm… daripada postingan ini semakin nggak jelas juntrungannya, lebih baik saya akhiri saja. Sampai jumpa di postingan selanjutnya… :)
[source]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar